Meditasi Tak Harus Duduk Bersila
Sahabat Wulan Bahagia,
Banyak orang merasa tak bisa meditasi. Tidak punya waktu. Tak bisa melipat kaki duduk lama. Aduh... Serasa kaki mau patah, meditasi dirasa jauh panggang dari api.
Padahal, meditasi berperan penting dalam pengendalian hormon tubuh. Sangat dibutuhkan untuk tetap damai dan bahagia dalam 'kekacauan' zaman.
Meditasi akan menurunkan hormon cortisol yang mempengaruhi tingkat stres. Meningkatkan hormon serotonim yang menghasilkan ketenangan. Meningkatkan hormon oxytocin yang berperan dalam sikap empati. Meningkatkan hormon melantonin yang memudahkan tidur dan hormon endorpin yang mendatangkan rasa gembira.
Meditasi tak harus dalam posisi duduk
Dalam Satipaṭṭhāna Sutta (Digha Nikaya 22), Buddha mengajarkan latihan perhatian penuh (meditasi Vipassana) bukan hanya bisa dilakukan dalam posisi duduk, tapi bisa dilakukan sepanjang hari, dalam empat postur tubuh sehari-hari. Pengamatan atau sadar penuh terhadap tubuh ini disebut kāyānupassanā.
1. Berjalan — Gacchanto
“Gacchanto vā gacchāmīti pajānāti.”
“Ketika berjalan, ia mengetahui: ‘Saya sedang berjalan.'
Ketika kaki melangkah, yang kita amati atau catat dalam batin: perasaan menyentuh tanah: panas, dingin, kasar, halus. Saat mengangkat kaki, kita menyadari atau mencatat dalam batin 'mengangkat kaki'. Saat menurunkannya kita mencatat dalam batin 'menurunkan kaki'.
Walaupun langkah biasa, kita menjadikannya langkah sadar penuh. Langkah rileks tapi sadar penuh atau kesadaran yang sempurna.
Jadi, jalan di rumah, jalan ke dapur, jalan ke kamar mandi—semua bisa menjadi meditasi.
Manfaat:
Melatih kewaspadaan sepanjang hari
Menenangkan pikiran yang gelisah
Mengurangi pikiran yang melompat-lompat
2. Berdiri — Ṭhito
“Ṭhito vā ṭhitomhi’ti pajānāti.”
“Ketika berdiri, ia mengetahui: “Saya sedang berdiri.”
Saat menunggu air mendidih, menunggu bus, atau berdiri di antrean, kita bisa memperhatikan tubuh yang tegak, berat tubuh, dan rasa pada telapak kaki.
Jadi, berdiri menunggu pun kita bisa bermeditasi.
Manfaat:
Mengembangkan kesabaran
Mengurangi ketegangan tubuh
Membiasakan pikiran untuk kembali pada saat ini
3. Duduk — Nisinnō
“Nisinno vā nisinnomhi’ti pajānāti.”
“Ketika duduk, ia mengetahui: “Saya sedang duduk.”
Duduk adalah postur yang paling sering digunakan meditasi formal.
Perhatikan sentuhan tubuh di kursi, napas masuk dan keluar atau naik turunnya perut, nafas masuk catat dalam batin 'nafas masuk', nafas keluar catat dalam batin 'nafas keluar'.
Bila menggunakan metode Mahasi saat perut kembung, catat dalam batin 'perut kembung', saat perut kempes, catat dalam batin 'perut kempis'. Kita mengamati atau menyadari dengan mencatat dalam batin perubahan-perubahan halus di tubuh.
Manfaat:
Memudahkan konsentrasi
Memperdalam ketenangan batin
Membuka pintu menuju kebijaksanaan
4. Berbaring — Sayāno
“Sayāno vā sayānomhi’ti pajānāti.”
Ketika berbaring, ia mengetahui: “Saya sedang berbaring.”
Sahabat Wulan Bahagia, meditasi berbaring Ini cocok untuk orang sakit, lansia, atau yang sulit duduk lama.
Meskipun demikian, para praktisi meditasi terbiasa melakukannya menjelang tidur maupun saat bangun tidur.
Seorang praktisi meditasi akan menjaga kesadaran penuhnya sepanjang hari. Baik sedang berdiri, berjalan, duduk maupun berbaring.
Ketika berbaring untuk istirahat, tetap menjaga perhatian pada tubuh, napas, dan sensasi yang muncul-lenyap.
Manfaat:
Membantu menghadapi rasa sakit
Melatih kesadaran saat menjelang tidur
Menenangkan pikiran sebelum istirahat
Kesadaran Dalam Pergantian Postur
Selain empat postur utama, Buddha mengajarkan untuk sadar dalam setiap perubahan:
Berjalan → berdiri
Berdiri → duduk
Duduk → berdiri
Berdiri → berbaring
Membungkuk, meluruskan tubuh
Makan, minum
Memakai pakaian
Menuju toilet
Bahkan saat bangun tidur
Inilah latihan sati-sampajañña: Perhatian penuh yang terus hidup, perhatian penuh yang terus berkesinambungan.
Inti Pemahaman
4 postur ini mengajarkan kita bahwa Dhamma bisa dipraktikkan setiap saat.
Setiap gerakan tubuh menjadi objek meditasi.
Tubuh menjadi guru yang mengingatkan kita kembali pada momen sekarang.
Ketika tubuh sadar → pikiran jernih.
Ketika pikiran jernih → kilesa (kemelekatan, kemarahan, kebodohan) melemah.
Ketika kilesa melemah → kebijaksanaan muncul.