KISAH TISSA THERA — Tak Ada Kata Terlambat 'Menembus' Dhamma.

Sahabat Wulan Bahagia, pada masa lampau, di kota Jetavana, hidup seorang bangsawan usia lanjut. Ia keluarga jauh Raja Pasenadi dari Kosala.

Karena sering datang ke wihara mendengar ajaran Buddha, ia tergerak meninggalkan kehidupan duniawi.

Usiaku sudah tua. Harta dan keluarga sudah terurus. Jika aku tidak berlatih sekarang, kapan lagi?”

Dengan niat kuat, ia pergi ke Sangha dan meminta ditahbiskan menjadi bhikkhu.

Para bhikkhu menerimanya dan menahbiskannya. Ia diberi nama Tissa Thera.

Namun, karena telah berumur, tubuhnya lemah. Ia tak mampu melakukan tugas rumah tangga wihara. Karena kurang latihan, ia juga mudah tersinggung. Ia merasa diperlakukan tidak hormat ketika bhikkhu muda menegurnya.

Suatu hari, beberapa bhikkhu junior melihat jubah Tissa Thera berantakan dan menegurnya dengan lembut:


Bhikkhu Tissa, mohon rapikan jubah Anda.”

Tanpa berpikir panjang, Tissa merasa tersinggung:


Kalian ini siapa berani-berani memerintahku?!”

Ia pun pergi ke Buddha dan mengeluh bahwa para bhikkhu tidak menghormatinya.

Namun ketika para bhikkhu lain menyampaikan kebenaran bahwa Tissa memang sering tersinggung, ia menjadi marah, ngambek dan tak mau berbicara dengan siapa pun.

Buddha memanggil Tissa Thera dan menasihatinya:


Jubah luar tidak menjadikan seseorang mulia.
Hanya batin yang terkendali yang menentukan kemuliaan.”

Namun Tissa tetap sulit berubah.

Tak lama kemudian, Tissa Thera sakit parah. Ia terbaring di tempat tidur, tak berdaya. Kesombongan yang dahulu melekat padanya mulai menghilang. Ia menangis dan berkata dalam hati:


Aku sudah tua… aku sudah ditahbiskan… tapi aku belum sungguh-sungguh berlatih.”

Para bhikkhu yang menjenguknya melihat ia menyesal, lalu melaporkan kepada Buddha:


Bhante, Tissa Thera sangat menyesal karena selama ini ia tidak berlatih benar.”

Buddha datang menemui Tissa Thera.

Saat itu, tubuhnya sudah sangat lemah, kulitnya pucat, napasnya pendek. Buddha berdiri di sampingnya dan mengucapkan syair ke-41 Dhammapada:

Seperti panah yang dilumuri kotoran, tubuh ini akan rebah juga.
Bila tubuh telah tergeletak tak berdaya, apa yang dapat dilakukan?”
(Dh. 41)

Syair itu menggugah batin Tissa.

Batinnya menjadi jernih. Dalam detik-detik terakhir hidupnya, ia merenungkan ketidakkekalan tubuh, batin, dan kehidupan. Dengan kesadaran penuh dan batin yang damai, ia meninggal dunia dan terlahir di alam bahagia.

Makna Dhamma dari Kisah Tissa Thera:

  • Usia tua bukan alasan untuk tak berlatih.

  • Kesombongan dan gengsi adalah musuh yang tak terlihat.

  • Tubuh ini pasti rapuh dan jatuh, hanya kebajikan yang menyelamatkan.

  • Seseorang mulia bukan usia, bukan jubah, bukan status — tetapi batin yang terkendali.

  • Selagi masih bisa bernapas, kita masih bisa berlatih dan berbuat baik

Latihan:
Duduk diam 5 menit dan mengamati napas.

Next
Next

Teknik Pernapasan Khusus Lansia